Setiap perpindahan tempat atau waktu pasti akan ada yang namanya Shock culture. Ya, itu wajar dan normal sih untuk pertama kali sebelum membiasakan diri dengan keadaan sekitar. Pertama kali mendengar aku akan ditempatkan di Bitung, pertama shock banget lah. Ga pernah tinggal jauh dari orang tua, terus tiba-tiba penempatannya di Sulawesi Utara, yang notabene jauh banget dari pulau Jawa. Kalaupun mau balik, kudu mikirin harga tiket yang memang ga murah. Jadi aku mau cerita beberapa pengalaman shock culture ketika pertama tinggal di Bitung:
1. Sarapan Nasi Kuning
Ya, mungkin agak asing sih makan nasi kuning di pagi hari, karena kalau di Jakarta kebanyakan orang makan nasi uduk, bubur ayam atau ketupat sayur. Nasi kuning sendiri hanya dimakan kalau ada acara khusus aja, misal ulang tahun, selametan, dll.
Sebenarnya nasi kuning ini ga cuman di Bitung, ketika aku pergi ke Samarinda di Kalimantan Timur pun pasti menu sarapannya nasi kuning. Tetapi nasi kuning di sini lebih banyak variasi topingnya. Seperti suwiran ikan cakalang, ada bihun juga, dan sambal pedasnya yang menjadi ciri khas. Awalnya ga terbiasa, tapi makin lama aku malah doyan makan nasi kuning. Walau sesekali aku nyari lontong sayur atau bubur ayam untuk sarapan.
2. Ga bayar parkir di Minimart
Yang paling aku sebel ketika di Jakarta adalah bayar parkir di minimart. Padahal kan cuman ngambil uang di atm tapi bayarnya 2000. Tetapi beda cerita ketika di Bitung ini, karena mayoritas minimart di sini ga ada bayar parkir. Hanya sebagian kecil yang berbayar, seperti supermarket besar di daerah girian, tapi itupun kadang ditarik bayar, kadang gratis aja. Cuman ada satu tempat yang pasti berbayar yaitu di DIY. Ya, aku sendiri sebagai perantau di sini merasa hemat banget ga bayar parkir di minimart.
3. Mobil/Motor ga kebut-kebutan seperti di Jakarta
Hampir setiap hari aku melihat kecelakaan di Jakarta. Mayoritas memang pengendara motor. Ya, gimana ga kecelakaan mereka bawa kendaraan kayak orang kesetanan aja. Ngebut, ugal-ugalan, lampu merah ditrobos. Tapi ketika aku di bitung ini, orang-orang membawa kendaraannya santai, walau ada yang ngebut atau ugal-ugalan tapi ga sebanyak di Jakarta.
Aku sendiri yang biasanya bawa selalu kenceng jadi kebawa suasana di sini menjadi lebih lambat membawa kendaraannya. Ya, membawa kendaraan lambat banyak manfaatnya, salah satunya jadi lebih menikmati perjalanan. Harus aku akui sih, mungkin karena di Jakarta selalu macet, jadi orang harus ngebut untuk sampai tempat tujuan tepat waktu, sedangkan di sini, bawa santai aja pun pasti tepat waktu.
4. Ongkir mahal dari pulau jawa
Ketika aku masih kerja di Jakarta, setiap bulan tuh pasti beli produk online. Entah penting atau enggak, beli aja karena biasanya ongkirnya gratis, ataupun produk dan ongkirnya murah. Tapi ketika tinggal di Bitung ini, kebiasaan aku beli online itu udah ga ada lagi. Aku harus mikir 1000 kali untuk beli produk online dari Jakarta. Dengan biaya ongkir yang mahal, memang enggak worth it. Alhasil kalau butuh apapun aku selalu cari toko terdekat di kota Bitung. Kalaupun ga ada, aku cari di ecommerce yang menjual produknya dari Manado atau Sulawesi Utara, biar ongkirnya ga mahal.
5. Harus masak sendiri
Ya, nasib tinggal sendiri di kota orang harus bisa survive masak sendiri, ngurus apapun sendiri. Awalnya ga terbiasa banget masak. Karena aku hanya bisa masak indomie aja. Menggoreng aja takut kena minyaknya. Tapi ilmu masak aku pelajari secara otodidak aja selama di sini. Beruntung aku tinggal dekat pasar, jadi bisa beli kebutuhan masak kapanpun tanpa harus bawa kendaraan. Kalau ga masak, aku ga makan. Memang, sebelumnya aku banyak beli di luar, tapi sekarang aku lebih senang masak sendiri karena makanan di luar sana ga seenak masakan sendiri ternyata, hehe.
Nah, jadi sekian cerita shock culture aku selama tinggal di Kota Bitung ini. Sekarang sih sudah terbiasa dengan keadaan, malah seperti warga lokal. Hanya saja masih belum bisa bahasa lokal sini. Kadang kalau transaksi di pasar pun aku harus memahami lama yang orang itu katakan. Ya, mungkin perlahan aku bisa memahami bahasa orang lokal.