Ketika Kincir Air Menjadi Penerang Desa

Semenjak banyak perusahaan menerapkan WFA atau Working From Anywhere, banyak orang kota yang justru memilih untuk hidup dan menetap di desa. Mereka sudah suntuk dengan polusi dan hiruk-pikut di perkotaan yang semrawut dan kusut. Menurut mereka, tinggal di Desa mempunyai kelebihan yang tidak didapatkan di kota, seperti lingkungan yang masih asri, orang yang ramah, juga udara yang segar.

Disaat orang kota ingin pindah ke desa, justru banyak warga desa yang justru ingin menikmati fasilitas yang ada di kota seperti akses kesehatan, listrik, air bersih dan transportasi umum. Karena tau sendiri, fasilitas di desa yang serba terbatas menjadi penghambat aktifitas warganya. Juga kesenjangan sosial yang begitu lebar, menjadikan orang lebih memilih untuk merantau ketimbang tinggal di desa.

Sumber: terkini.id

Apalagi bagi warga Dusun berpenduduk 1.500-an orang di lereng bukit Coppo Tile, Desa Bacu-Bacu, Makassar ini yang sehari-hari tidak mendapatkan fasilitas berupa listrik. Padahal seperti yang kita tahu, listrik itu sangat penting. Karena hampir seluruh kegiatan membutuhkan listrik. Terutama bagi mereka yang bekerja WFA pasti sangat membutuhkan listrik dan internet untuk dapat tersambung dan menyelesaikan pekerjaan.

Dikarenakan fasilitas listrik yang tidak pernah ada, membuat seorang Pemuda yang belum lama kuliah di Fakultas Kimia, Universitas Negeri Makassar, ini untuk membuat pembangkit listrik
di kampungnya pada tahun 2008.

Dengan senang hati, Warga sekitar pun mendukung langkah seorang pemuda bernama Harianto Albarr untuk membuat dusun tersebut teraliri listrik sehingga bisa membuat malam yang gelap gulita, menjadi terang benderang.

Sumber: bisnis.com

Beliau mulai membendung sungai yang mengairi di sekitar desa, sebuah pohon aren pun dapat diubah menjadi pipa yang bisa mengalirkan air hingga mencapai generator bekas. Hasil dari Air yang deras itu menghasilkan listrik dengan berkekuatan 3 Kwh. Bahkan hasil temuannya kini, sudah mencapai instalasi yang ke-4 dengan berkapasitas 20 kwh. Luar biasa memang.

Bisa dibayangkan, betapa senangnya warga desa yang selama bertahun-tahun tidak teraliri listrik dan sekarang mempunyai listrik yang secara mandiri difungsikan. Sehingga tidak bergantung kepada pembangkit listrik yang tidak ramah lingkungan.

Tidak hanya rumah saja yang teraliri listrik, namun kini sekolahan dan masjid pun turut terang karena sudah mendapatkan aliran listrik. Kesenjangan sosial para warga pun mulai membaik seiring dengan listrik yang sudah masuk desa.

Para penduduk yang mampu membeli kulkas dapat membuat es dan bisa menjualnya kembali. Untuk anak-anak yang biasa belajar menggunakan lilin, sekarang bisa menggunakan lampu yang lebih terang untuk belajar di malam hari.

Hiburan warga berupa televisi pun dapat ditonton setiap hari. Banyak diantaranya yang mulai memasakan dengan rice cooker. Tidak hanya itu, semangat kerja para petani pun makin tinggi. Bahkan keberhasilannya ini mengundang minat desa lain. Impian, gagasan, dan kerja kerasnya berbuah untuk masyarakat sekitar.

Dengan listrik, tidak hanya ekonomi warga desa yang mulai bangkit, tapi kesenjangan sosial, hiburan maupun semangat para warganya pun ikut naik. Ya, mereka bisa menikmati elektronik tanpa risau. Bisa belajar di malam hari tanpa takut kegelapan. Para ibu bisa berjualan minuman dingin di rumahnya. Ataupun bapak-bapak yang ingin menontok sepak bola di tengah malam.

Itulah kisah dari seorang pemuda bernama Harianto Albarr, yang dengan idenya dapat memajukan perekonomian dan sosial warga Desa Bacu-Bacu, Makassar. Pembangkit listrik yang ramah lingkungan juga menjadikan teknologi yang sangat ramah lingkungan sehingga tidak mencemari lingkungan hidup di sekitarnya.

Leave a Comment

Your email address will not be published. Required fields are marked *