Satu Jam Menyusuri Sungai Kahayan

0e723-dsc_1161
Baru-baru ini saya berkunjung ke ibukota dari kalimantan tengah, yaitu Palangkaraya. Sebuah kota di tengah pulau Kalimantan (Borneo) yang dahulunya sempat digadang-gadang untuk menjadi ibukota indonesia oleh Bapak Presiden Soekarno. Sempat juga menjadi buah bibir masyarakat manakala Presiden Yudhoyono kembali mengangkat isu ingin memindahkan ibukota jakarta ke kota yang penduduknya mencapai 92.067 jiwa ini, walau sampai saat ini hanyalah wacana semata dan tidak ada kelanjutannya lagi.
Berbicara soal kota palangkaraya, tidak lengkap rasanya tanpa membahas jembatan kahayan. Sama halnya jika ke jakarta tanpa berkunjung ke monas, maka jika ke palangkaraya maka tak lengkap rasanya jika tidak mengunjungi jembatan kayahan, sebuah ikon dan ciri dari kota palangkaraya. Dibawahnya mengalir sungai yang namanya tak jauh beda yaitu sungai kahayan. Sedikit berbeda dengan sungai kebanyakan di kalimantan, karena tidak menjadi lalu lintas kapal-kapal besar maupun tongkang pembawa batu bara seperti di samarinda maupun banjarmasin. 
Perjalanan menyusuri sungai dimulai dari dermaga yang letaknya tak jauh dari jembatan kahayan. dengan sedikit nego. akhirnya disepakati 200ribu untuk satu jam lamanya. Kelihatannya memang simpel hanya menyusuri sungai, namun aktifitas ini menjadi salah satu wisata alternatif jika berkunjung ke palangkaraya karena letaknya tidak jauh dari kota.

Selang beberapa menit, saya pun langsung berhadapan dengan pepohonan yang masih sangat lebat layaknya seperti hutan kebanyakan di kalimantan. Didalamnya tidak hanya terdapat flora, saya pun masih dapat melihat monyet-monyet ekor panjang hidup liar disana. Melintas berbagai macam klotok (sejenis perahu kecil) hilir mudik menyusuri sungai kahayan. Keberadaan kelotok tersebut menjadi transportasi andalan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar sungai.  

Sejenak Perahu yang saya tumpangi bersandar pada sebuah warung dipinggiran sungai. tak jauh dari sana juga terdapat sebuah perkampungan yang mayoritasnya menggunakan bahasa banjar. berbicara dengan bahasa banjar sekilas memang seperti bahasa indonesia atau melayu hanya saja ada beberapa kata yang berbeda dan uniknya setiap akhir pertanyaan tanya selalu diakhiri dengan kalimat kah? bisa kah?

Sembari menyeruput kopi dan menyunyah satu buah jambu klutuk berwarna merah, saya pun melihat-lihat hasil tangkapan dari salah satu penduduk. dia menaruh ikan-ikan kecil kedalam sebuah baskom besar. Awalnya saya pikir ini hanya ikan kecil biasa, tak tahunya itu adalah ikan seluwang yang melegenda dan yang sangat terkenal khususnya untuk oleh-oleh seperti di banjarmasin. Selain itu ada juga hasil tangkapan berupa ikan gabus dan beberapa ikan lainnya.

Situasi magrib yang sangat gelap serta tidak adanya lampu diperahu memaksa untuk segera balik ke kota. Sebelum itu, saya diajak untuk sejenak melihat perkampungan yang letaknya tidak jauh dari warung dipinggir sungai tadi. kalau bisa dibilang, perkampungannya sungguh lengkap, bahkan ada rumah ibadah berupa masjid, bisa dibilang perkampungan tersebut tidak terlalu terpelosok banget hanya saja memang untuk akses kesini agak jauh dari kota palangkaraya kecuali menggunakan klotok. 

Sesampainya di Jembatan Kahayan, saya takjub manakala lampu berwarna warni menghiasi hampir seluruh jembatan. Walau tidak terlalu terang amat, namun keberadaan lampu-lampu tersebut menambah kesan cantik dan romantis. Sungguh hal yang menyenangkan dapat berkunjung ke kota yang dulunya menjadi calon ibukota ini walau pada akhirnya sekarang hanya sebagai ibukota dari kalimantan tengah. Namun terlepas dari itu, berkunjung ke palangkaraya selalu memberi warna sama halnya seperti warna-warna pada jembatan kahayan pada malam hari.