Kisah Perjalanan Menuju Ereveld Pandu, Bandung

Sudah puas berkunjung ke Ereveld di Jakarta yaitu Menteng Pulo dan Ancol, saya jadi kepikiran untuk berkunjung ke seluruh ereveld yang ada di Indonesia. Secara resmi Ereveld itu berada di kota-kota besar khususnya di pulau Jawa. Total ada 8 Ereveld yang terdapat di kota Jakarta, Bandung, Cimahi, Semarang, dan Surabaya.

Awal mulanya saya berkunjung ke sini, berawal dari cerita Pak Diki yang merupakan pengelola dari Ereveld Ancol dan kebetulan orang tuanya juga sebagai pengelola dari Ereveld Pandu di kota Bandung. Kami memang banyak bercerita tentang banyak hal dengan pak diki. Mulai dari cerita ereveld sampai kehidupan pribadinya Pak Diki. Dan itulah yang membawa kami ke kota Paris Van Java ini.

Berangkat lebih dahulu dari stasiun Gambir, saya, kak yunita daN Bang Eka tiba lebih sore dibandingkan teman-teman lain yang rata-rata baru berangkat malam hari. Setibanya di kota Bandung, tanpa pikir panjang kami langsung berburu kuliner. Makanan pertama yang kami incar adalah iga bakar yang ada di Jalan Cipaganti. Rasa iganya cukup enak, karena bumbu yang meresap dan dagingnya yang empuk khas iga banget. raos pisan pokoknya.

Keesokan harinya, kami bergegas menuju Ereveld Pandu yang ternyata tidak jauh dari area Pasteur. Berjalan menggunakan ojek online dari Cihampelas, tak sampai 30 menit saya dan kawan-kawan sudah tiba di pemakaman umum pandu.

Memang, area Ereveld ini dikelilingi oleh pemakaman umum pandu. Saya jadi teringat Ereveld Menteng Pulo yang sekelilingnya juga perkuburan umum Menteng Pulo.

Setibanya di gerbang, saya langsung bertemu dengan Bapak Purwadi, sebagai pengelola dari Ereveld Pandu. Seperti yang sudah saya ceritakan sebelumnya, beliau ini merupakan bapak dari pak diki, pengelola ereveld di Ancol. Sudah lebih dari 27 tahun beliau mengelola Ereveld Pandu ini. dan masih aktif hingga kini, luar biasa memang.

Kebetulan, Bapak Purwadi ini juga tinggal dalam area Ereveld Pandu. Beragam cerita menarik perihal area tempat tinggalnya yang tidak biasa. Mulai dari tukang ojek yang kabur duluan ketika mengantar ke rumah Pak Purwadi. Hingga abang angkot yang minta dianterin balik ke jalan raya setelah mengantar Pak Purwadi hingga ke pintu gerbang Ereveld.

Suasana kuburan yang kurang penerangan alias gelap gulita, ditambah beberapa kuburan seperti kurang terawat menjadikan image kuburan itu serem dan banyak hantunya. Ditambah lagi, banyak film dan cerita misteri bermula dari kuburan, makin tambah deh unsur horornya.

Terlepas dari cerita horror di balik kuburan, di sini saya mau bercerita tentang Ereveld Pandu yang keren banget. Sudah khasnya memang kalau Ereveld di Indonesia itu simetris dan sejajah antar kuburannya. karena dekat dengan bandara Husein Sastra Negara, jadi dari sini kita bisa melihat dengan jelas pesawat landing maupun take-off dari Bandung. Bisa melihat pesawat dari dekat itu senangnya luar biasa, apalagi bisa dadah-dadah ke pesawat, hehe.

Secara general sih masih sama seperti Ereveld lain di Jakarta. Yang dimakamkan di sini memang kebanyakan tentara KNIL maupun pribumi yang berafiliasi dengan Belanda. Mayoritas memang meninggal saat invasi Jepang ke Indonesia pada tahun 1942 hingga 1945.

Oh iya, di sini juga ada makam dari kakeknya Tante Meriam Belina. Kebetulan Tante Meriam Belina sendiri adalah orang Bandung dan rumahnya juga tak jauh dari Ereveld Pandu. Ada juga makam dari kakeknya Om Roy Marten dan masih banyak lagi.

Suasana yang damai dan tenang sangat terasa. Hal ini juga yang saya rasakan ketika barada di Ereveld Ancol. Ya, walaupun kisah tragisnya lebih banyak di Ancol, tapi setiap Ereveld itu menyimpan ceritanya masing-masing. Berkunjung ke Ereveld ini bukan sekedar foto yang menarik, tapi dari sisi sejarahnya juga patut untuk diulik. Dan saya pun tetap berencana untuk berkunjung ke seluruh Ereveld di Indonesia. Ya, semoga itu terlaksana nantinya, Amin.

Ereveld Pandu (Bandung)
Jalan. Pandu No.32, Pamoyanan, Cicendo, Kota Bandung, Jawa Barat 40173 [maps]

Tentang Konservasi dan Potensi Wisata Baru di Desa Gekbrong

Setelah menempuh perjalanan selama 3 jam lebih dari Jakarta, akhirnya kami tiba di sebuah desa yang berada persis di kaki gunung Gede Pangrango. Namanya adalah Desa Gekbrong, Cianjur, Jawa Barat. Beberapa penduduk desa rupanya sudah menanti kehadiran kami yang memang molor satu jam lebih lambat dari rencana awal. Tanpa menunggu lama, kami pun disambut oleh tarian tradisional yang kelihatannya mirip pencak silat ini.

Buah Paprika

Selain tarian daerah, kami juga disambut beberapa makanan seperti leupet, kacang rebus dan paprika. Kebetulan disini memang penghasil paprika, sama seperti daerah Malang dan Bandung yang berada diatas ketinggian 1000 mpdl. Namun Paprika disini bisa dibilang sedikit lebih baik ketimbang kedua daerah tadi. Karena pola tanam dan pengairan yang menggunakan 100% bahan alami tanpa produk kimia buatan.

Masyarakat desa memang sudah tidak lagi menggunakan pestisida kimia, melainkan menggantinya dengan yang lebih alami. Pupuknya juga sudah menggunakan kompos. Efeknya sangat berasa, terutama untuk air yang diserap oleh tanaman dan lingkungan sekitar.

Sehabis makan siang, kami diajak menuju wilayah konservasi hutan Gunung Gede Pangrango. Kehadiran kami disana bukan jalan-jalan semata, tapi kami mempunyai misi mulia yaitu menanam pohon. Program tersebut merupakan bentuk kepedulian AQUA lestari untuk menjaga kelestarian hutan Gunung Gede Pangrango dan keberlangsungan mata air yang penting bagi kehidupan masyarakat sekitar. Selain penanaman pohon, AQUA lestari juga mengadakan program  berkelanjutan di Kecamatan Gekbrong, Cianjur seperti peningkatan akses air bersih, sanitasi dan higienitas dan program pengembangan pertanian terintegrasi juga edukasi bagi para petani dalam pengelolaan air untuk perkebunan.

Jarak termpuh untuk menuju ke wilayah konservasi hutan memang ga jauh. Baru berkeringat sebentar saja sudah sampai. Tepat di tepi jalanan kecil saya menaruh pohon yang sudah ditempel nama dan scan barcode sebelumnya. Barcodenya sendiri berfungsi untuk data pohon yang ditanam, dan masa tumbuhnya.

Tak seberapa jauh dari tempat kami menanam pohon, terdapat sebuah curug yang bahkan orang cianjur seperti rudi saja tidak tahu. ”Mayoritas yang berkunjung kesini memang wisatawan lokal, kalo wisatawan luar kota belum ada karena belum ada yang tahu” ujar salah seorang penduduk kepada kami yang sedang berusaha menuruni anak tangga yang licin karena baru habis hujan.

Jalanan menuju curug memang sedikit extreme. Selain licin, jalanannya juga curam dan kalau jatuh langsung ke jurang. Bahkan, tidak ada wisatawan yang berkunjung kesana selain kami yang datang. Perihal biaya memang tidak ada wong yang berkunjung pun masih wisatawan lokal desa.

Seperti menemukan berlian diantara tumpukan jerami, saya begitu terpukau begitu melihat keindahan alam sekitar. Airnya sangat bersih, lingkungannya masih sangat asri dengan hutan lebat disekelilingnya.

Melihat curug ini, saya jadi teringat akan curug cikaracak di bogor sana. Tinggi dan dikelilingi oleh hutan yang lebat. Namun entah mengapa curug goong ini memang lebih bagus. Mungkin karena belum banyak yang berkunjung jadi keasriannya masih sangat terjaga.

Dengan adanya potensi wisata ini, saya berharap masyarakat sekitar juga pemerintah daerah dapat mengelolanya dengan baik seperti menjaga keasrian hutan dan kebersihan sekitar curug sehingga nantinya dapat dijadikan pemasukan daerah khususnya pemerintah kabupaten Cianjur.

Situ Lengkong, Danau Indah dan Bersejarah

Tak kenal maka tak sayang, mungkin itu perkataan yang ngena banget buat saya yang setiap pulang kampung sering ngelewatin Situ Lengkong dan baru kali ini menyempatkan diri untuk pergi kesana. Usut punya usut, ternyata Situ Lengkong ini sudah menjadi cagar alam sejak zaman penjajahan belanda pada tanggal 21 Februari 1919 berdasarkan kepada surat keputusan gubernur Jendral Hindia Belanda kala itu (Besluit van den Gouverneur Genreaal van nederlandsch indie) pada nomor 6 tahun 1919 [link].

Lokasinya berada persis di kaki gunung sawal atau ± 41 Km dari Kota Ciamis [map]. Jaraknya sendiri tidak seberapa jauh dari kampung saya yang berada di Kecamatan Kawali, Ciamis, mungkin sekitar 30 menit kalau naik sepeda motor. Selain terkenal akan pemandangan sekitar yang indah dengan view pegunungan juga persawahan, danau yang luasnya mencapai 57,95 ha inipun terkenal bagi yang ingin berziarah.

Ditengah situ Lengkong terdapat sebuah pulau yang bernama Nusa Gede yang didalamnya terdapat sebuah makam Hariang Kencana atau Sayyid Ali bin Muhammad bin Umar atau sering disebut mbah Panjalu. Beliau merupakan seorang putera dari Hariang Borosngora. Didalam Nusa Gede juga terdapat beberapa makam keluarga dari Kerajaan Panjalu lainnya. Dahulu, sang Prabu Borosngora membuat Situ Lengkong di Panjalu ini pada masa beliau menjadi Raja Panjalu dan Nusa Gede merupakan pusat dari Pemerintahan Kerajaan Panjalu.

 

Sebagai cagar alam yang dilindungi oleh pemerintah, Nusa Gede ini memiliki vegetasi hutan primer yang masih sangat utuh juga banyak tumbuhan alami. Didalamnya terdapat beberapa jenis flora seperti Kondang (Ficus variegata), Kileho (Sauraula Sp), dan Kihaji (Dysoxylum). Di bagian pulau yang lebih rendah tumbuh tanaman Rotan (Calamus Sp), Tepus (Zingiberaceae), dan Langkap (Arenga[link].

Mayoritas pengunjung memang khusus untuk berziarah ke Pulau yang luasnya mencapai  9,25 ha ini [link]. tak hanya sekitaran Ciamis, pengunjung banyak juga yang berasal dari kota lain seperti Bandung, Jakarta bahkan kota-kota di Jawa Tengah.

 

Untuk dapat menuju ke Nusa Gede, kita bisa menyewa perahu yang banyak tersedia dipinggiran danau. Harganya sekitar Rp. 6000/orang dan biaya masuknya sekitar 2500/orang. Mungkin karena masih terlalu pagi, belum banyak aktifitas para peziarah yang akan menyebrang ke Nusa Gede ataupun para pedagang sekitar yang menjajakan dagangannya.

 

Ada yang unik khususnya pada bulan Maulud, disini biasa melaksanakan acara rutin yaitu semacam upacara adat kirab pusaka Kerajaan Panjalu yang disimpan di dalam museum yang diberi nama “bumi alit “. Pusaka-pusaka tersebut dikeluarkan untuk dimandikan (dibersihkan) dalam satu Upacara yang diberi nama “Nyangku”. Hal tersebut dilakukan untuk menghormati jasa Para Leluhur Panjalu dan biasanya inilah puncak dari kunjungan Wisata ke Situ Lengkong Panjalu [link].

 

Selain untuk berwisata alam dan religi, Situ Lengkong Panjalu ini juga dimanfaatkan penduduk sekitar untuk mengairi persawahan dan perkebunan warga sekitar, serta banyak juga tambak-tambak dan pemancingan disekitar danau menjadikan danau ini sangat berkah bagi penduduk sekitar. Selain itu, banyak juga anak – anak dari penduduk sekitar memanfaatkannya sebagai sarana bermain air dan berenang.

How to get there?

Untuk kamu khususnya yang berasal dari Jakarta mau ke Situ Panjalu? gampang banget, ada beberapa transportasi yang bisa dipilih :

1. Naik Bus

Kamu bisa naik dari terminal kampung rambutan dan naik bus menuju Tasikmalaya seperti (Primajasa atau Doa Ibu) atau naik bus yang mengarah kee Cilacap atau Karang Pucung seperti (Gapuraning Rahayu atau Sinar Jaya) turun di pertigaan tagog. dari sana bisa naik ojek atau angkot (jam operasionalnya hanya pagi – sore).

2. Naik Kereta

Ada dua jadwal kereta yang bisa dipilih dari stasiun Pasar Senen. pertama adalah serayu 216 jam 09.15 dan kedua serayu 220 pada jam 21.00 WIB. Nanti, turunnya bisa di Ciamis dan setelahnya naik bus mini elf yang trayeknya menuju ciamis-panjalu. Memang tidak sampai Situ Lengkong, kamu harus nyambung lagi naik ojek menuju kesana.

Untuk cara pesannya, saya selalu pakai tiket.com, selain mudah dan aman juga user friendly banget khususnya untuk yang mobile. Saya sendiri udah langganan pakai tiket.com sejak lama, mulai pesan tiket pesawat hingga kereta menuju kota-kota di Jawa seperti Yogyakarta, Surakarta, Kediri ataupun Semarang.

3. Naik Kendaraan Pribadi

Untuk naik kendaraan pribadi, memang disarankan naik mobil karena aksesnya lebih cepat lewat tol. kalaupun naik sepeda motor bisa, tapi menempuh perjalanan sedikit lebih jauh dengan melewati purwakarta, bandung hingga tiba di jalur selatan jawa.

Bagi kalian yang naik mobil, bisa melalui tol jakarta – cikampek lalu masuk menuju tol cipularang dan keluar cileunyi. setelahnya, kamu akan melewati jalur utama selatan jawa hingga tiba akhirnya di pertigaan tagog [map]. Setelah tiba, jalan terus dan ambil arah menuju kawali. memang perlu ektra yang belum pernah mengetahui jalan ini sebelumnya karena rambu petunjuk jalan yang masih kurang, namun kita bisa memakai GPS (gunakan penduduk sekitar) untuk bertanya-tanya. Jika kamu udah menemui plang selamat datang, artinya sebentar lagi sudah sampai di Situ Lengkong Panjalu ini.

Yup, itulah sekilas tentang wisata alam juga religi yang ada di kampung saya di Ciamis, Jawa Barat. Memang, lebih baiknya mengenal wisata di kampung sendiri terlebih dahulu, kenali potensinya dan explore lebih dalam baru mengenal wisata ditempat lain yang lebih jauh bahkan sampai mancanegara. sekali lagi, tak kenal maka tak sayang bukan? Selamat Berlibur 🙂

Terasering Unik Itu Terletak di Argapura

Dengan menaiki bus mini sejenis Kopaja, kami menempuh perjalanan selama 5 jam lamanya dari kota Bekasi menuju Maja, sebuah kecamatan yang masih satu kabupaten dengan Majalengka. Sesampainya pada pukul 9 malam kami langsung bertemu dengan Deni, seorang anak laki-laki yang masih duduk dibangku sekolah kelas 3 SMK di bilangan kota Majalengka. Deni, sebutan akrabnya mengajak kami ke rumah uwaknya yang tidak jauh dari terminal bus Maja. Uwak merupakan sebutan orang yang lebih tua dalam bahasa Sunda. Sembari bertamu, Uwak mempersilahkan kami untuk tidur di sebuah musholla yang tak jauh dari tempat tinggalnya, dan kesempatan itupun kami ambil sebaik mungkin untuk beristirahat sembari meluruskan kaki dan tangan.

Pagi harinya, sekitar pukul 5 pagi kami sudah harus jalan menuju sebuah desa bernama Argapura untuk pergi ke terasering yang terkenal di sekitaran Panyaweuyan. Argapura merupakan sebuah desa yang berada persis di kaki Gunung Ciremai. terletak di kecamatan Maja, Kabupaten Majalengka, Jawa Barat. Dengan menaiki mobil carry hitam tanpa penutup (alias mobil bak), kami pun melaju melintasi bukit demi bukit. Laju mobil pun harus berhenti di sebuah jalan dekat warung. Ternyata mobil hanya parkir disitu, sisanya kami harus berjalan kaki sekitar 100 meter untuk mencapai spot yang diinginkan.

Tak makan waktu lama, sesampainya di spot yang bagus untuk foto kami pun langsung memulai hunting. yang selfie ya selfie, yang motret ya motret , secara tidak langsung rombongan kami yang berjumlah 9 orang terbagi menjadi geng selfie dan geng motret. saya yang pecinta dunia fotografi lebih memilih untuk memotret pemandangan disana, walau lensa yang saya bawa hanya  Fix, jadi tidak bisa terlalu jauh untuk memotretnya, alhasil saya memaksimalkan lensa fix tersebut dengan memotret lebih dekat ke objek. Mayoritas Ladang – ladang yang berada di Argapura ini adalah ladang bawang merah dan sisanya adalah tanaman perkebunan lainnya seperti sayuran.

Saking bersemangatnya untuk hunting, saya sampai pergi dari ujung bawah hingga ke bukit diatas sana, jauh pokoknya. Bertemu dengan para bawang -bawang, para Petani yang sedang menyemprotkan anti hama. Tanah disini tidak terlalu padat, alhasil saya super hati-hati untuk melewati tanah yang gembur tersebut dan berkali-kali terkena longsoran tanah yang tidak kuat menopang beban saya. Dikarenakan sedang musim tanam, sepanjang ladang yang saya lihat disana sangat hijau dan begitu indah terlihat, dan perlu diperhatikan untuk berkunjung harus dipastikan sedang musim tanam, karena kalau tidak kehijauan di sekitar argapura tidak terlihat dan hanya ada deretan tanah yang menumpuk dibukit-bukit.

Yang agak bikin kaget, ternyata untuk membawa hasil panennya, para petani disini memakai motor bebek yang sudah di modifikasi menjadi trail. sungguh lincah para petani itu, sembari membawa hasil panen yang lumayan banyak atau membawa alat untuk pembasmi hama, mereka sanggup melaju dengan lincahnya dijalan yang sangat kecil dan licin. bahkan saya rasa jalanan tersebut hanya untuk satu motor saja.

Matahari sudah meninggi di Ufuk Timur, alhasil situasi cuaca yang tadinya lumayan sejuk berubah menjadi sedikit hangat (A.K.A Panas). Karena dirasa sudah cukup, kami yang berada di sebuah bukit terjal diujung sana pun akhirnya harus turun gunung dengan melewati deretan ladang – ladang bawang yang sedang meninggi. Lagi-lagi tanah gembur yang saya injak longsor dan harus berhati-hari untuk menuruni tanah terjal yang tidak terlalu padat tersebut. Masih ga kebayang kalau ada dua puluh orang atau bahkan lebih menuju bukit terjal tersebut, dipastikan tanahnya hancur tidak kuat menampung beban. Dan semoga terasering unik di Argapura, Majalengka masih bisa terjaga dan walau bukan merupakan desa wisata, setidaknya wisatawan dadakan yang berkunjung bisa menjaga dan melestarikan keasrian ladang bawang disana.

Cara Seru Menikmati Curug Leuwi Hejo

 

Pancaran hijau toskanya memancing saya untuk berkunjung kesini, ke sebuah curug di Kampung Wangun, Sentul, Kabupaten Bogor. Panas dan teriknya matahari saat itu malah menambah semangat saya untuk sesegera mungkin memendamkan diri di dinginnya air terjun yang diapit oleh deretan bebatuan dan tebing besar ini.

Continue reading “Cara Seru Menikmati Curug Leuwi Hejo”